Jl.A-A Alun2, Gd. PLN
(ada pohon),Sumber: internet
Bila seseorang
ditanya:” Apa yang diingat atau dikenal dari Kota Bandung?” Kemungkinan
besar jawabannya ialah:” Bandung Kota Kembang”. Atau kemungkinan lain
jawaban-jawaban seperti: makanannya enak-enak, mojang Bandung cantik-cantik,
Alun-alun, gedung Sate, Braga, Gunung Tangkuban Perahu, Ci Ater, Persib, ITB,
Jalan Dago, THR Juanda (Dago Pakar), Gedung Merdeka. Atau mungkin ada juga yang
menjawab:” Oohh… Bandung macet dan banyak sampah di mana-mana…” Punten
Pa Dada…punten Pa Ayi…punteeeennn….. mudah-mudahan ke depan Bandung makin asri
dan nyaman. Lagi pula ini kan baru perkiraan jawaban bisa benar bisa juga
salah. Tapi satu hal yang saya yakini tidak akan ada orang yang menjawab
walaupun dia penduduk Kota Bandung bahwa Kota Bandung punya sejarah ” sumur Bandung”.
Kemungkinan jawaban seperti ini 1 : 1000 ( lagi-lagi perkiraan hehehe…).
Sumur Bandung yang
saya maksud tentu saja bukan nama satu kecamatan di Kota Bandung. Ya, “Sumur
Bandung” yang dimaksud benar-benar sumur tempat keluarnya air tanah
yang sekarang terlupakan bahkan oleh penduduk asli Kota Bandung, padahal sumur
ini punya keterkaitan sejarah dengan berdirinya Kota Bandung. Lalu mengapa
tidak banyak orang yang tahu keberadaan sumur tua itu? Penyebabnya
mungkin letak sumur itu sendiri walau berada di tengah-tengah keramaian
kota tetapi letaknya di dalam gedung tertutup serta tentu
saja kurangnya publikasi.
Rd.Adipati Wiranata
Kusumah II
Konon menurut
sejarahnya, sumur ini terbentuk ketika Raden Adipati Wiranata Kusumah
II yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Karapyak (sekarang Dayeuh
Kolot) beristirahat melepas lelah di pinggir kali Cikapundung. Beliau baru saja
melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk ukuran waktu itu yang
keadaannya masih berupa hutan belantara. Beliau sangat berkeinginan untuk
memindahkan ibukota dari Karapyak yang sering dilanda banjir Citarum ke kawasan
yang bebas banjir. Saat beristirahat itu beliu menancapkan tongkatnya tidak
jauh dari tempat duduk beliau. Ketika tongkat dicabut keluar air yang sangat
jernih dari lubang bekas tongkat beliau. Agar air itu tidak terbuang percuma
lalu beliau bersama rombongan ponggawa membuatkan lubang untuk menampung air
tersebut, yang akhirnya di kemudian hari disebut Sumur Bandung. Dan atas
persetujuan Daendels ibukota Kabupaten Bandung dari Karapyak pindah ke kawasan
dekat sumur tersebut, yaitu dengan dibangunnya Pendopo sebelah selatan
alun-alun sekarang.
Sumur
Bandung yang bernilai sejarah ini sekarang berada di dalam kawasan Gedung PLN
di jalan Asia Afrika Bandung. Sekarang bagian atas sumur tersebut diberi
penutup berupa cungkup terbuat dari logam berwarna keemasan dan bagian
sekelilingnya di pasangi rantai pembatas. Pada salah satu sisinya terdapat
sebuah prasasti yang bertuliskan :
“Sumur Bandung Mere Karahayuan ka
Rahayat Bandung
Sumur Bandung Mere karahayuan ka Dayeuh
Bandung
Sumur Bandung Kahayuning Dayeuh Bandung
Ayana di Gedung PLN Bandung.”
Bandung 25 Mei 1811
Raden Adipati Wiranata Kusumah II
Sekarang kadang-kadang
ada juga orang terutama dari luar kota datang untuk mengambil airnya
karena dianggap mempunyai kekuatan atau keramat. Satu keistimewaan sumur
ini selain airnya sangat jernih, di musim kemarau pun
air sumur tetap melimpah. Mungkin juga air sumur ini tidak
pernah kering karena letaknya di pinggir sungai Cikapundung. Wallahualam. (Dari
berbagai sumber)
Kedua sungai ini jaraknya berdekatan. Hanya dipisah jalan protokol Asia Afrika. Uniknya, meski di atas Sumur Bandung yang satu, telah berdiri bangunan kokoh. Meski begitu, keberadaan Sumur Bandung dibiarkan tetap utuh. Bahkan diberi penutup berhiaskan mirip mahkota. Sehingga ada kesan bila sumur ini dihormati dan dijaga kelestariannya.
Lokasi sumur yang satu ini terletak di lantai dasar Gedung PLN Distribusi Jawa Barat. Keberadaannya sangat terawat. Bahkan airnya sering diambil oleh para pejabat PLN dan masyarakat umum untuk dibawa pulang. Menurut kabar, air itu sangat mujarab untuk mengobati berbagai penyakit. Uniknya lagi, aula gedung PLN ini pun diberi nama Bale Sumur Bandung. Pemberian nama aula itu pun mengandung cerita mistik yang menarik untuk disimak. Menurut Kusnadi (52), Kuncen Sumur Bandung di gedung PLN, nama aula tersebut merupakan pemberian penghuni gaib sumur purba itu.
Sehari sebelum aula itu diresmikan, dewi penghuni sumur memberi isyarat. Semula, kata Kusnadi, aula itu sudah dipersiapkan bernama Graha Sumur Bandung. Namun tiba-tiba Kusnadi dan Heri, kuncen Sumur Bandung, mendapat bisikan gaib dari dewi penghuni sumur itu. Akhirnya melalui sebuah komunikasi gaib, penghuni gaib sumur itu meminta nama Graha Sumur Bandung diubah menjadi Bale Sumur Bandung. “Pesan gaib itu lalu kami sampaikan kepada pimpinan. Dan ternyata pimpinan menyetujui perubahan nama itu,” tutur Kusnadi.
Sumur Bandung yang satunya lagi, terletak di bawah gedung Miramar. Gedung ini lokasinya di seberang gedung PLN atau berjarak sekitar 20 meter. Bangunan bekas pertokoan lima lantai ini kini telah diratakan dengan tanah. Kabarnya, areal bekas gedung Miramar ini akan dibangun sebuah pusat perbelanjaan modern.
Dulu Pemkot Bandung pernah menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta untuk dikelola menjadi komplek pertokoan modern. Sebab dilihat dari segi bisnis, lokasi gedung Miramar sangat strategis. Namun, rencana itu tertunda hingga kini. Bahkan setelah berkali-kali ditenderkan, tetap tak ada investor yang mau membuka usaha di situ. Apa sebab ? Ada keyakinan, gagalnya mengubah gedung Miramar menjadi pertokoan modern, karena adanya sumur Bandung yang dihuni kekuatan dari dimensi gaib.
Dewi
Kentringmanik
Soal nama Sumur Bandung memang sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Bandung. Beberapa nama tempat dan jalan di kota Bandung, ada yang diberinama Sumur Bandung. Konon, keberadaan sumur ini sangat erat kaitannya dengan keberadaan seorang dewi yang cantik jelita. Seorang bekas sipir penjara Banceuy dahulu --sebelum dipindah ke LP Sukamiskin Bandung, kepada Kuncen Bandung, Ir Haryoto Kunto (almarhum), pernah bercerita soal Sumur Bandung. Katanya, Sumur Bandung adalah singgasananya penguasa gaib kota Bandung. Orang yang suka mengembara ke alam gaib ini lantas menyebut bahwa penghuni sumur itu adalah seorang putri bernama Kentringmanik.
Kentringmanik adalah seorang dewi yang cantik rupawan. Di singgasananya itu, ia tinggal bersama saudara pengiringnya, yakni Eyang Dipayasa. Oleh seorang penulis asal Belanda, WH Hoogland, dewi Kentringmanik disebut pula sebagai Bron Goding, atau dewi penguasa mata air sungai Citarum. Dalam Wawacan Guru Gantangan, disebut pula adanya seorang tokoh Kentringmanik Mayang Sunda.
Dia adalah salah seorang permaisuri Prabu Siliwangi yang punya putra bernama Guru Gantangan. Sanghyang Guru Gantangan yang Brahmana Lelana ini adalah putra Prabu Banjarsari dari istrinya yang ke-74, yakni Ken Buniwangi. Cuma, yang jadi pertanyaan adalah, apakah Kentringmanik Mayang Sunda ini pula yang menghuni Sumur Bandung.
Penguasa Alam Gaib
Sebagian warga Bandung memang ada yang meyakini bila alam gaib kota Bandung dikuasai dewi Kentringmanik ini. Hal ini berdasarkan fakta-fakta, ketika kondisi politik tanah air sedang bergejolak dan dimana-mana terjadi kerusuhan, Bandung sebagai salah satu dari lima kota terbesar di tanah air, nyaris tak pernah terjadi kerusuhan. Konon hal itu karena alam Bandung dihuni oleh penguasa gaib yang menjaga ketenteraman warganya.
Menurut almahum Haryoto Kunto dalam buku Semerbak Bandung, sebelum kota Bandung berubah rupa seperti saat ini, dahulu ditemukan banyak kuburan. “Orang Bandung tempo dulu, mengubur anggota keluarganya yangmeninggal di halaman rumah,” tuturnya dalam buku itu. Penduduk Bandung baheula, katanya, sangat meyakini falsafah kuburan sebagai tempat yang tenang dan damai.
Tidak heran bila setiap halaman rumah selalu ada kuburannya. Kondisi itu bertahan hingga tahun 1906, ketika kemudian pemerintah Belanda mengeluarkan larangan mengubur mayat di halaman rumah. Jadi sebenarnya, di tengah hiruk pikuk Bandung, di bawahnya merupakan kuburan-kuburan penduduk Bandung tempo dulu. Selain karena keberadaan dewi Kentringmanik, keadaan itu pula yang menyebabkan Bandung terasa sejuk dan adem ayem. Wallahualam bishawab. ***
Soal nama Sumur Bandung memang sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Bandung. Beberapa nama tempat dan jalan di kota Bandung, ada yang diberinama Sumur Bandung. Konon, keberadaan sumur ini sangat erat kaitannya dengan keberadaan seorang dewi yang cantik jelita. Seorang bekas sipir penjara Banceuy dahulu --sebelum dipindah ke LP Sukamiskin Bandung, kepada Kuncen Bandung, Ir Haryoto Kunto (almarhum), pernah bercerita soal Sumur Bandung. Katanya, Sumur Bandung adalah singgasananya penguasa gaib kota Bandung. Orang yang suka mengembara ke alam gaib ini lantas menyebut bahwa penghuni sumur itu adalah seorang putri bernama Kentringmanik.
Kentringmanik adalah seorang dewi yang cantik rupawan. Di singgasananya itu, ia tinggal bersama saudara pengiringnya, yakni Eyang Dipayasa. Oleh seorang penulis asal Belanda, WH Hoogland, dewi Kentringmanik disebut pula sebagai Bron Goding, atau dewi penguasa mata air sungai Citarum. Dalam Wawacan Guru Gantangan, disebut pula adanya seorang tokoh Kentringmanik Mayang Sunda.
Dia adalah salah seorang permaisuri Prabu Siliwangi yang punya putra bernama Guru Gantangan. Sanghyang Guru Gantangan yang Brahmana Lelana ini adalah putra Prabu Banjarsari dari istrinya yang ke-74, yakni Ken Buniwangi. Cuma, yang jadi pertanyaan adalah, apakah Kentringmanik Mayang Sunda ini pula yang menghuni Sumur Bandung.
Penguasa Alam Gaib
Sebagian warga Bandung memang ada yang meyakini bila alam gaib kota Bandung dikuasai dewi Kentringmanik ini. Hal ini berdasarkan fakta-fakta, ketika kondisi politik tanah air sedang bergejolak dan dimana-mana terjadi kerusuhan, Bandung sebagai salah satu dari lima kota terbesar di tanah air, nyaris tak pernah terjadi kerusuhan. Konon hal itu karena alam Bandung dihuni oleh penguasa gaib yang menjaga ketenteraman warganya.
Menurut almahum Haryoto Kunto dalam buku Semerbak Bandung, sebelum kota Bandung berubah rupa seperti saat ini, dahulu ditemukan banyak kuburan. “Orang Bandung tempo dulu, mengubur anggota keluarganya yangmeninggal di halaman rumah,” tuturnya dalam buku itu. Penduduk Bandung baheula, katanya, sangat meyakini falsafah kuburan sebagai tempat yang tenang dan damai.
Tidak heran bila setiap halaman rumah selalu ada kuburannya. Kondisi itu bertahan hingga tahun 1906, ketika kemudian pemerintah Belanda mengeluarkan larangan mengubur mayat di halaman rumah. Jadi sebenarnya, di tengah hiruk pikuk Bandung, di bawahnya merupakan kuburan-kuburan penduduk Bandung tempo dulu. Selain karena keberadaan dewi Kentringmanik, keadaan itu pula yang menyebabkan Bandung terasa sejuk dan adem ayem. Wallahualam bishawab. ***
Sumur Bandung
Sumber mata air yang
dikenal oleh masyarakat yang sering dijadikan sebagai air cikahuripan adalah
adanya Sumur Bandung. Sumur ini hampir menyebar di beberapa daerah. Selain
terdapat di Kota Bandung sendiri, juga terdapat di daerah-daerah terpencil. Di
kecamatan Solokanjeruk, setidaknya ada 2 lokasi yang disebut Sumur Bandung,
yaitu di Kampung Sagalaherang, Desa Rancakasumba dan di Kampung Saradan, Desa
Langensari.
Kedua Sumur Bandung yang
terletak di Kecamatan Solokanjeruk ini, memang tidak lagi berfungsi seperti
dulu. Sumur Bandung Sagalaherang, dulu termasuk salah satu pavorit yang sering
dikunjungi para peziarah dari Cirebon dan Banten. Biasanya sekitar bulan Mulud,
sering pula digunakan untuk acara ngabungbang.
Acara ngabungbang dimulai pada tengah
malam. Setelah mengikuti acara ritual pasaduan yang
dilaksanakan di rumah kuncen, kemudian mereka mengunjungi lokasi Sumur Bandung
untuk mengambil airnya Sebelumnya, para peserta ritual yang terdiri dari
anak-anak hingga orang dewasa sempat melempar uang sesuai dengan jumlah naktu kelahiran.
Dengan menggunakan air yang berasal dari Sumur Bandung
itu, kemudian mereka mandi kembang. Ada yang mandi di sekitar Sumur Bandung, ada pula dengan cara
membawa airnya ke rumah kuncen. Dan di rumah kuncen mereka mencampur air Sumur
Bandung degan air sumur rumah. Campuran air sumur itu kemudian ditaburi aneka
macam bunga, biasanya minimal 7 rupa. Dengan bimbingan kuncen, seorang demi
seorang kemudian mengadakan siraman sampai seluruh badannya basah.
Kebiasaan yang dilakukan
pada setiap bulan Mulud itu, memang sudah sangat jarang dilakukan lagi. Kecuali
di Sumur Bandung Saradan. Masih ada orang yang suka melakukan. Selain untuk
mengadakan ritualngabungbang, bersamaan dengan itu dilakukan pula
kagiatan lain semisal ngumbah pusaka atau ngumbah
pakarang berupa pakakas untuk keperluan famor. Sehingga tidak
mengherankan, terkadang di sekitar Sumur Bandung itu seringkali ditemukan
benda-benda pusaka tersebut.
Kisah di seputar Sumur
Bandung Saradan, menurut pengelola cikahuripan tersebut, kehadiran Sumur
Bandung diawali dari kisah munculnya tokoh-tokoh, seperti Nyi Kentring Manik,
Eyang Aji, Eyang Jangkung, dan Eyang Balarante. Konon, mereka adalah penguasa
kerajaan Tatar Sunda.
Dalam kaitan dengan
sejarah kerajaan-kerajaan di Tatar Sunda, nama Nyi Kentring Manik sering
disebutkan sebagai permaisuri karajaan Pajajaran. Beliau adalah putri Prabu
Susuk Tunggal yang dinikahi oleh Prabu Siliwangi.
Konon dikisahkan, Nyi
Kentring Manik Mayang Sunda kerapkali mengunjungi daerah-daerah terpencil
kerajaan dengan didampingi beberapa orang pengawalnya. Kedatangannya ke
daerah-daerah tersebut biasanya berhubungan dengan adanya pembukaan daerah
baru. Dan dalam setiap pembukaan daerah baru tersebut ditandai dengan terlebih
dahulu mewujudkan sebuah sumur cikahuripan.
Keberadaan sumur
cikahuripan pada masa itu, tidak hanya diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan
pengadaan air bersih semata-mata, melainkan pula memiliki fungsi sakral dan
filosofis.
Istilah Sumur Bandung
sendiri sering pula dikaitkan dengan makna kata bandung yang
berarti rahim ibu sebagai sebuah anugerah yang diberikan Sang Maha Pencipta
terhadap makhluk bernama wanita. Rahim ibu inilah yang merupakan titik awal
keberangkatan kehidupan manusia, maka sudah sepantasnya manusia selalu ingat
akan kehadiran seorang ibu dan senantiasa menghormatinya.
Keberadaaan Sumur
Bandung adalah bentuk penghormatan kepada eksistensi wanita dalam konteks
setiap pembentukan kawasan baru, maka harus diresmikan oleh ibu nagara. Itulah
sebabnya, keberadaan Sumur Bandung selalu dikaitkan dengan nama Nyi Kentring
Manik Mayang Sunda, sebagai ibu nagara pada masa itu.
Sumur Bandung dalam
perkembangan selanjutnya oleh masyarakat setempat dianggap sebagai sumur
keramat. Karena adanya nilai keramat ini, atau nilai-nilai sugestif yang
berasal dari para leluhurnya, baik dari tokoh sejarah pendirinya maupun
nilai-nilai budaya tradisi yang pernah hidup pada masanya, maka wajar kemudian
muncul upaya pelestarian nilai-nilai budaya tradisi dan penghormatan kepada
tokoh sejarah yang terkandung di dalamnya.
Upaya mempertahankan
nilai-nilai kesakralan terhadap keberadaan Sumur Bandung sampai kini pun tetap
terpelihara. Bahkan hal ini pun diyakini tidak saja oleh masyarakat awam,
melainkan mendapat pengakuan secara resmi di kalangan pemerintah tradisional
sebagaimana dilakukan oleh Bupati Bandung RHAA Wiranatakusumah II atau yang
lebih terkenal dengan julukan Dalem Kaum saat memindahkan ibukota kabupaten
dari Krapyak ke Kota Bandung sekarang.
Pada masa itu, saat
hendak memindahkan ibukota Kabupaten Bandung, Kangjeng Dalem Kaum sempat
mengadakan napak tilas untuk mencari keberadaan Sumur Bandung yang sempat
dibuat oleh Nyi Kentring Manik Mayang Sunda. Hal ini sesuai dengan petunjuk
‘gaib’ yang diterimanya. Dan benar saja, setelah dicari dengan mengadakan
perjalanan kaki yang ditemani oleh para kapetengan, akhirnya sumur itu pun
ditemukan.
Setelah sumur itu
ditemukan, melalui semacam ritual upacara ngretakeun bhumi lamba yang
hidup pada jaman Pajajaran, bersama tiga kapetengan kadaleman, yaitu Embah
Janalim, Embah Dita dan Embah Jambrong, dilakukan
pemugaran sumur tersebut sambil membacakan jampe Bandung untuk
menandai perpindahan ibukota Bandung, dari tempat lama di Krapyak ke Kota
Bandung sekarang.
Menurut versi ini,
kepindahan ibukota Bandung bukanlah atas perintah Gubernur Jendral Deandles,
melainkan merupakan inisiatif Dalem Kaum yang kemudian diajukan kepada
Deandles, dan mendapat persetujuan secara resmi dari pemerintah Belanda. Dan
bahkan dinyatakan sebagai jarak titik nol untuk menempuh daerah lainnya di
Tatar Sunda.
Majalah Sabilulungan edisi
Maret 2011 memberikan deskripsi kepindahan ibukota Kabupaten Bandung dari
Krapyak ke kota Bandung sekarang, sebagai berikut:
Tanggal 20 Oktober 1794, Radén Indradiréja
jeneng jadi Bupati Bandung. Inyana ngaganti ramana. Basa diwastu, Radén
Indradiréja dibéré gelar Radén Adipati Wiranatakusumah II.
Dina hiji mangsa, Radén Adipati
Wiranatakasumah II ngumpulkeun para kapetenganana. Aya tilu kapetengan anu
kacida setia. Kahiji, Embah Jambrong (panaséhat religi/Spiritual). Kadua, Embah
Janalim (panaséhat lingkungan alam). Ari anu katiluna katiluna, Embah Dita
(panaséhat kadigjayaan atawa kaamanan).
Embah Jambrong ngaran
aslina mah R. Aria Dilaga Somanagara. Aya ogé anu nyebut R. Kancung
Purwawisésa. Disebut kitu pédah rambutna gondrong. Resep ngukut godég, kumis
katut janggot. Kailaharan mangsa harita jalma anu geus ngabagawan.
Pancén bagawan nyaéta
ngaping ratu ngayak ménak. Kana tangtu gentur ku pangaweruh, sugih ku
pangarti.
Dikumpulkeunana parakapetengan aya
patalina jeung pertanda alam. Kangjeng Dalem kungsi ningali cahaya. Sageburan,
ngagebur di langit Cikapundung. Tapi teu puguh lebah-lebahna.
“Ieu téh pertanda saé, Gusti Dalem.
Sakumaha iber anu parantos sumebar perkawis rencana pangwangunan jalan raya.
Teu aya lepatna, puseur dayeuh dialihkeun nyaketan jalan anu badé diadegkeun.
Nya, mangga baé, ti kawit ayeuna langkung saé urang cukcruk heula
pitempateun anu sakirana loyog kanggo kadaton,” walon Embah Janalim. Inyana téh
ahli kana maca perwatekan lembur. Nyarita sotéh kitu, sanggeus aya katerangan
ti Embah Jambrong.
Ceuk Embah jambrong, éta cahaya téh
mangrupa isyarat. Bisa ogé disebut ‘pituduh gaib’. Bandung
leuwih nanjung mun puseur dayeuhna dipindahkeun.
Sanggeus asak babadamian, sapuk sakabéh. Puseur
dayeuh Bandung rék dipindahkeun. Tapi kamana?
Kangjeng Dalem gasik baé néangan
pitempateun. Henteu cukup ku sakali. Mimiti ka daérah kalér, ka Cikalintu
(Cipaganti ayeuna). Sigana ngarasa kurang cop. Kapaksa balik deui ngidul, ka
Kampung Balubur Hilir (Balai Kota ayeuna). Sarua, can kénéh cop. Ongkoh teu
keuna kana palintangan.
Di Kampung Balubur Hilir Kangjeng Dalem
lila reureuh. Malah kungsi ngadegkeun heula pasanggrahan. Maksudna sangkan teu
kudu bulak-balik ti Krapyak.
Salila ngareureuh, mémang kungsi datang
ilapat. Cenah mudu néangan tempat urut pangguyangan badak. Leuwih alusna
pangguyangan badak putih,
Teu héséeun keur Embah Janalim mah. Sasat
apal kana lacak sasatoan leuweung. Anu disebut ahli maca alam téh éstu saenyana.
Lain
pupulasan. Matak, dipentés kitu, teu lila, jol gurudag meunang laratan.
Cenah, pernahna teu jauh ti walungan
Cikapundung. “Ih, atuh kaula loyog pisan mun di dieu mah, Mamang. Akur jeung
dina ilapat. Cahaya téh ka dieu muragna. Cing, kumaha pamendak, Mamang?”
Kangjeng Dalem ngarérét ka Embah Jambrong.
“Abdi Dalem, ngiringan baé. Sawangan
Mamang, ieu téh kersana Nu Murba. Nagara Bandung ngadeg ayeuna,” walon Embah
Jambrong.
Sanggeus sapuk, tuluy baé Kangjeng Dalem
nunda ciri. Ditindak ngerahkeun rahayat. ngabukbak leuweung. Tapi, da
henteu gagabah. Sakumaha talari paranti, diayakeun heula acara ruwatan.
Kangjeng Dalem langsung mingpin acarana. Embah Jambrong nu macakeun jampéna:
Marga jasana nu murba
Asal leuweung luwang-liwung
Ngadeg nagara Bandung ayeuna!
Waktu keur ngabukbak leuweung Cikapundung,
Kangjeng Dalem jarang balik ka tempat dumukna. Remen pisan mondok di
pasanggrahan Kebon Kawung. Ti harita, Kangjeng Dalem boga sebutan anyar.
Katelahna Dalem Bogor. Cenah, pédah mindeng mogor (mondok) di pasanggarahan.
Ari pasanggarahanana ayana di Kampung Bogor (ayeuna jadi Kebon Kawung). Ngan
sabada pupus (1829), leuwih katelah Dalem Kaum. Pédah dimakamkeun di tukangeun
masjid Kaum Bandung. Masjid Agung Bandung, mun ayeuna mah..***
Misteri Sumur
Bandung
Misteri sumur bandung
TIDAK sembarangan mengambil dan menggunakan air yang
ada dalam situs Sumur Bandung. Harus ada tata cara lengkap dengan doa khusus
yang harus dilakukan untuk melakukan pengambilan air di dalam sumur ini.
Menurut Agus Suryana (42) pengurus situs Sumur
Bandung ini mengatakan salah satu yang harus dipenuhi agar bisa mengambil air
tersebut yaitu harus punya wudhu. Setelah itu ketika membuka rantai yang
mengelilingi situs tersebut juga harus membaca do'a. Begitupun ketika membuka
tutup lubang yang menghubungkan dengan air sumur dan begitu selanjutnya.
"Doa-doa yang diucapkan juga dari Al-Qur'an
seperti surat Al-Ihklas dan lain-lain dan bukan bacaan yang aneh,"
ujarnya. Menurut
Agus, do tersebut diucapkan untuk meminta izin dan ridho Allah SWT.
"Dengan do'a air teh saja bisa bikin sembuh," lanjutnya.
Jika tidak diiringi doa, Agus khawatir akan
terjadi apa-apa. Karena menurutnya walau secara kasat mata tidak tampak, tapi
di tempat itu terdapat sesepuh-sesepuh Bandung. Di antaranya Nyi Mas Kentring
Manik, Mama Haji Cakraningrat bahkans esekali termasuk Dalem Kaum atau Raden
Adipati Wiranatakusumah.
"Pernah ada yang ngambil sembarangan lalu
langsung gila dan dia dimandikan lagi dengan air tersebut. Sekarang sudah
normal kembali," ungkapnya.
Namun Agus mengatakan semua diniatkan ibadah
kepada Allah. Jangan sampai tempat ini disalahgunakan dengan
hal-hal yang berbau musyrik. Agus mencontohkan tempat ini dulu pernah
disalahgunakan oleh orang-orang tertentu untuk mendapatkan wangsit dalam
berjudi. Meskipun pada saat ini masih ada juga peziarah yang melakukan hal-hal
mengarah pada musyrik saat berkunjung ke tempat ini.
"Maka saya menjaga agar tidak ada orang yang
mencoreng situs sejarah ini dengan hal-hal yang musyrik," tutur Agus
Cikapundung, sungai terpanjang
didunia ?? »
Akang Haji, sorban palid
palidna ka Cikapundung ….
palidna ka Cikapundung ….
Sebuah syair lagu tentang sungai yang membelah kota
Bandung, Cikapundung mengalir dari Hulu sungai yang terletak antara kecamatan
Lembang dan Kecamatan Cilengkrang, yaitu berasal dari Curug Ciomas. Di kawasan
utara menuju selatan yang bermuara di Citarum.
Mengapa sungai ini disebut sebagai sungai terpanjang
didunia ?? ee.. karena ee karena sungai ini melewati Asia dan Afrika, atau
lebih tepatnya jalan Asia Afrika. Sepanjang bantaran sungai ini telah padat
oleh penduduk terutama pada kawasan Balubur dan Taman Sari, menjadikannya
saluran “pembuangan sagala rupa” oleh warganya. Pernah saat ngAleut ada warga
yang membuat kasur ke Cikapundung… (edan eta warga, tanpa dosa miceun sampah ka
walungan) hanya bisa geleng-geleng kepala, kok bisa !!. Dulu juga banyak
bertebaran “karamba” sepanjang sungai ini namun karena mengakibatkan
pendangkalan maka dilarang oleh pemerintah.
Lalu berasal dari apakah nama Cikapundung itu ??
menurut T. Bachtiar nama tersebut berasal dari buah asam-manis seukuran
kelereng, Kapundung (menteng dalam bahasa Indonesia). Mungkin saat itu buah
tersebut banyak tumbuh di sekitar aliran sungai, sehingga dijadikan nama sungai
CIkapundung.
Sumur Bandung,
dimanakah itu ? »
Air merupakan salah satu elemen terpenting dalam kehidupan, bisa
dibayangkan kalau tidak ada air kemungkinan kehidupan pun tidak ada. Lalu
dimanakah sumber air (sumur) di Bandung ?.
Kalau anda jalan-jalan cobalah datang ke gedung PLN yang berada
di jalan Cikapundung, gedung yang kini bernama Bale Sumur Bandung karena
disana terdapat sumur tertua di kota Bandung. Menurut informasi air untuk
segala keperluan pembangunan gedung-gedung sekitar alun-alun Bandung diambil
dari sana. Lalu bagaimana keadaanya sekarang ? untuk lebih jelas lihat aja foto
nya.
Sumur Bandung
Akan tetapi lokasi sebenarnya dari sumur bandung bukan disana,
tetapi didalam lobi dengan altar setengah lingkaran berpagar dengan ornamen
huruf “S”. Pemindahan dilakukan oleh Walikota Bandung Wahyu Hamidjaja pada
tanggal 26 Oktober 1997, pemindahan dilakuka agar tamu-tamu yang ingin melihat
sumur Bandung lebih leluasa.
Sumur Bandung ternyata tidak hanya ada disana namun ada
dibeberapa lokasi seperti belakang bekas gedung Miramar, belakang gedung
palaguna, di Pendopo, belakang Masjid Agung dan gedung Bank Escampto.
Namun seperti biasa pemerintah sibuk membangun dari pada
memelihara peninggalan masa lalu, semoga kita dapat menjaganya.
Tong ka haling, tong ka harung
Merdekakeun sumur Bandung
Nu nutup urang suwaykeun
nu minding urang sieuhkeun
hawa ka jembaran rasa
baka cunduk ka inyana
tatapak pangembang pundak
ny seungit tur bingakit
Merdekakeun sumur Bandung
Nu nutup urang suwaykeun
nu minding urang sieuhkeun
hawa ka jembaran rasa
baka cunduk ka inyana
tatapak pangembang pundak
ny seungit tur bingakit
Misteri Pendopo Kota Bandung
Pendopo Kota Bandung adalah sebutan untuk rumah
dinas Walikota Bandung. Letaknya persis di sisi sebelah timur Alun-alun
Bandung. Bangunan yang did’irikan Bupati Bandung RAA Wiranatakusumah II awal
abad 18 ini sarat dengan cerita seram. Sejarah pendiriannya pun diwarnai
kejadian yang sulit diterima akal sehat. Kabarnya, bangunan bersejarah ini
masih dihuni sejumlah mahluk halus.
Bangunan pendopo kota Bandung punya sejarah panjang. Keberadaannya tak lepas dari sulitnya Bupati Bandung ke-6 RAA Wiranatakusumah II (1763-1794), mencari lokasi ibukota Kabupaten Bandung yang Baru. Menurut pini sepuh Bandung, Bupati Wiranatakusumah II yang bernama asli Raden Indrareja dan kerap juga disebut Dalem Kaum ini, adalah tokoh yang memiliki banyak kelebihan dibanding bupati Bandung lainnya. Selain dikenal sakti, Bupati Wiranatakusumah juga memiliki ilmu-ilmu yang tak dipunya kebanyakan orang.
Ibukota Baru
Awal abad 18, suasana ibukota Kabupaten Bandung sudah dianggap tidak layak lagi sebagai lalu lintas administrasi pemerintahan. Gubernur Jenderal Mr Herman Willem Deandels, penguasa Hindia Belanda ketika itu, melihat perlunya memindahkan ibukota Kabupaten Bandung ke tempat lain. Maka pada 25 Mei 1811, ia memerintahkan Adipati Wiranatakusumah II, bupati Bandung ketika itu, untuk memintahkan ibukota ke Krapyak atau Citeureup. Hanya saja, dimana letak persisnya tidak tahu pasti.
Setelah melayari sungai Cikapundung, akhirnya sang bupati merapat di suatu tempat. Batinnya merasa tempat itu sebagai lokasi yang pas untuk sebuah ibukota. Sambil beristirahat bersama rombongan, Bupati Wiranatakusumah II menancapkan tongkatnya di tanah. Dia lalu menunjuk sebuah tempat tak jauh dari tempatnya berdiri, sebagai tempat bermalam. Rombongan lalu mendirikan tenda-tenda. Nah, keajaiban pun terjadi. Ketika sang Bupati mencabut kembali tongkatnya, bekas tanah yang tertancap tongkat itu tiba-tiba mengeluarkan air. Air itulah yang kemudian dipergunakan untuk keperluan selama berkemah.
Dan pada malam harinya, tepat di sekitar lokasi tenda-tenda itu terlihat sinar terang yang jatuh dari langit. Sang bupati mendapat firasat dan merasakan tempat itu sebagai lokasi yang pas menjadi ibukota Kabupaten Bandung yang baru. Sejak saat itu, dia mengumumkan bila lokasi disisi Sungai Cikapundung itu sebagai ibukota Kabupaten Bandung yang baru.
Lokasi tenda-tenda perkemahan rombongan dijadikan pendopo. Sementara sumber mata air menjadi sebuah sumur yang airnya tak pernah kering. Sang Bupati kemudian wafat tahun 1829, dan dimakamkan di belakang masjid Kaum Bandung, sekarang mesjid Agung Bandung atau Masjid Raya Jawa Barat. Setelah wafat, rakyat kerap menyebutnya Dalem Kaum.
Ir Haryoto Kunto, yang digelari masyarakat sebagai kuncen Bandung, menyebut sumur itu dengan nama Sumur Bandung. Ternyata, Sumur Bandung tersebut ada dua buah. Yang pertama terletak di bawah Gedung PT PLN Distribusi Jabar dan satunya lagi di bawah gedung Miramar. Kedua sumur itu lokasinya berdekatan, hanya dipisah jalan Asia Afrika yang ramai. Kedua sumur itu, konon menjadi tempat bersemayamnya mahluk halus. Dia adalah seorang putri cantik jelita bernama Kentring Manik atau Nyi Ken Buniwangi. Sang putri kerap disebut penunggu alam gaib kota Bandung.
Penuh Misteri
Sejak bangunan pendopo yang berbentuk joglo itu didiami para Bupati Bandung, kisah-kisah penuh misteri senantiasa menyelimuti. Misalnya saat Wahyu Hamijaya (1993-1998) menjabat Walikota Bandung. Ada beberapa kisah menarik, sekaligus menyeramkan. Ketika itu, pada salah satu bagian lantai pendopo mengalami kerusakan secara tiba-tiba. Hanya saja, kerusakan itu terlihat aneh. Lantai pendopo terbelah memanjang, seolah-olah ada sesuatu yang menyeruak dari dalam tanah. Kejadian aneh ini tentu menggemparkan para penghuni pendopo.
Menurut cerita yang berkembang, kerusakan itu akibat seekor ular besar yang muncul dari bawah tanah. Lalu menyeruak ke permukaan tanah, persis di dalam bangunan pendopo. Akibatnya, lantai dari tegel (keramik) itu rusak, membentuk galian parit mirip proyek pemasangan kabel PLN. Para pegawai pendopo yang menyaksikan kejadian langka itu ketakutan. Mereka takut kalau-kalau ular itu muncul lagi dan memangsa mereka. Seorang ahli hikmah mengatakan bila perbuatan itu dilakukan oleh sembarang ular.
Seiring dengan kejadian itu, di bagian lain kerusakan lantai terlihat bekas-bekas cakaran kuku binatang. Dipastikan bila itu bekas cakaran harimau yang ukurannya besar. Dua kenyataan itu jelas membuat para pegawai pendopo ketakutan. Sebab mana mungkin dalam keadaan normal, ada seekor ular besar keluar dari tanah dan seekor harimau besar muncul di dalam pendopo. Dalam hati mereka bertanya-tanya, mengapa hewan-hewan aneh bisa muncul dari dalam pendopo?
Kejadian aneh lain juga dialami Ny Wahyu Hamijaya, ibu walikota Bandung. Beliau kerap mengalami hal-hal aneh di dalam kamar. Kerap kali Ny Wahyu mendapati kamarnya berantakan oleh koper-koper yang berpindah tempat. Belum lagi baju-baju sering berpindah dari tempat asalnya. Namun, ketika ditanyakan kepada para pembantunya, mereka menyahut tak tahu. Lantas, siapa yang memindahkan koper-koper itu? Siapa yang membuat berantakan baju-baju yang telah disusun dalam lemari? Banyak yang mengatakan itu perbuatan mahluk-mahluk halus yang menghuni pendopo. Wallahualam.
Bangunan pendopo kota Bandung punya sejarah panjang. Keberadaannya tak lepas dari sulitnya Bupati Bandung ke-6 RAA Wiranatakusumah II (1763-1794), mencari lokasi ibukota Kabupaten Bandung yang Baru. Menurut pini sepuh Bandung, Bupati Wiranatakusumah II yang bernama asli Raden Indrareja dan kerap juga disebut Dalem Kaum ini, adalah tokoh yang memiliki banyak kelebihan dibanding bupati Bandung lainnya. Selain dikenal sakti, Bupati Wiranatakusumah juga memiliki ilmu-ilmu yang tak dipunya kebanyakan orang.
Ibukota Baru
Awal abad 18, suasana ibukota Kabupaten Bandung sudah dianggap tidak layak lagi sebagai lalu lintas administrasi pemerintahan. Gubernur Jenderal Mr Herman Willem Deandels, penguasa Hindia Belanda ketika itu, melihat perlunya memindahkan ibukota Kabupaten Bandung ke tempat lain. Maka pada 25 Mei 1811, ia memerintahkan Adipati Wiranatakusumah II, bupati Bandung ketika itu, untuk memintahkan ibukota ke Krapyak atau Citeureup. Hanya saja, dimana letak persisnya tidak tahu pasti.
Setelah melayari sungai Cikapundung, akhirnya sang bupati merapat di suatu tempat. Batinnya merasa tempat itu sebagai lokasi yang pas untuk sebuah ibukota. Sambil beristirahat bersama rombongan, Bupati Wiranatakusumah II menancapkan tongkatnya di tanah. Dia lalu menunjuk sebuah tempat tak jauh dari tempatnya berdiri, sebagai tempat bermalam. Rombongan lalu mendirikan tenda-tenda. Nah, keajaiban pun terjadi. Ketika sang Bupati mencabut kembali tongkatnya, bekas tanah yang tertancap tongkat itu tiba-tiba mengeluarkan air. Air itulah yang kemudian dipergunakan untuk keperluan selama berkemah.
Dan pada malam harinya, tepat di sekitar lokasi tenda-tenda itu terlihat sinar terang yang jatuh dari langit. Sang bupati mendapat firasat dan merasakan tempat itu sebagai lokasi yang pas menjadi ibukota Kabupaten Bandung yang baru. Sejak saat itu, dia mengumumkan bila lokasi disisi Sungai Cikapundung itu sebagai ibukota Kabupaten Bandung yang baru.
Lokasi tenda-tenda perkemahan rombongan dijadikan pendopo. Sementara sumber mata air menjadi sebuah sumur yang airnya tak pernah kering. Sang Bupati kemudian wafat tahun 1829, dan dimakamkan di belakang masjid Kaum Bandung, sekarang mesjid Agung Bandung atau Masjid Raya Jawa Barat. Setelah wafat, rakyat kerap menyebutnya Dalem Kaum.
Ir Haryoto Kunto, yang digelari masyarakat sebagai kuncen Bandung, menyebut sumur itu dengan nama Sumur Bandung. Ternyata, Sumur Bandung tersebut ada dua buah. Yang pertama terletak di bawah Gedung PT PLN Distribusi Jabar dan satunya lagi di bawah gedung Miramar. Kedua sumur itu lokasinya berdekatan, hanya dipisah jalan Asia Afrika yang ramai. Kedua sumur itu, konon menjadi tempat bersemayamnya mahluk halus. Dia adalah seorang putri cantik jelita bernama Kentring Manik atau Nyi Ken Buniwangi. Sang putri kerap disebut penunggu alam gaib kota Bandung.
Penuh Misteri
Sejak bangunan pendopo yang berbentuk joglo itu didiami para Bupati Bandung, kisah-kisah penuh misteri senantiasa menyelimuti. Misalnya saat Wahyu Hamijaya (1993-1998) menjabat Walikota Bandung. Ada beberapa kisah menarik, sekaligus menyeramkan. Ketika itu, pada salah satu bagian lantai pendopo mengalami kerusakan secara tiba-tiba. Hanya saja, kerusakan itu terlihat aneh. Lantai pendopo terbelah memanjang, seolah-olah ada sesuatu yang menyeruak dari dalam tanah. Kejadian aneh ini tentu menggemparkan para penghuni pendopo.
Menurut cerita yang berkembang, kerusakan itu akibat seekor ular besar yang muncul dari bawah tanah. Lalu menyeruak ke permukaan tanah, persis di dalam bangunan pendopo. Akibatnya, lantai dari tegel (keramik) itu rusak, membentuk galian parit mirip proyek pemasangan kabel PLN. Para pegawai pendopo yang menyaksikan kejadian langka itu ketakutan. Mereka takut kalau-kalau ular itu muncul lagi dan memangsa mereka. Seorang ahli hikmah mengatakan bila perbuatan itu dilakukan oleh sembarang ular.
Seiring dengan kejadian itu, di bagian lain kerusakan lantai terlihat bekas-bekas cakaran kuku binatang. Dipastikan bila itu bekas cakaran harimau yang ukurannya besar. Dua kenyataan itu jelas membuat para pegawai pendopo ketakutan. Sebab mana mungkin dalam keadaan normal, ada seekor ular besar keluar dari tanah dan seekor harimau besar muncul di dalam pendopo. Dalam hati mereka bertanya-tanya, mengapa hewan-hewan aneh bisa muncul dari dalam pendopo?
Kejadian aneh lain juga dialami Ny Wahyu Hamijaya, ibu walikota Bandung. Beliau kerap mengalami hal-hal aneh di dalam kamar. Kerap kali Ny Wahyu mendapati kamarnya berantakan oleh koper-koper yang berpindah tempat. Belum lagi baju-baju sering berpindah dari tempat asalnya. Namun, ketika ditanyakan kepada para pembantunya, mereka menyahut tak tahu. Lantas, siapa yang memindahkan koper-koper itu? Siapa yang membuat berantakan baju-baju yang telah disusun dalam lemari? Banyak yang mengatakan itu perbuatan mahluk-mahluk halus yang menghuni pendopo. Wallahualam.
Pendopo Kota Bandung sarat dengan cerita mistik.
Bangunan bercorak arsitektur jaman Belanda ini menyatu dengan kisah penentuan
ibukota Kabupaten Bandung pada tahun 1811. Ketika itu Gubernur Jenderal
Deandels memerintahkan Bupati Bandung Adipati Wiranatakusumah II, mencari
ibukota baru. Setelah melayari Sungai Cikapundung, lokasi baru ditemukan.
Kejadian-kejadian aneh mewarnai proses penemuan itu.
Pada waktu yang hampir bersamaan dengan proses pencarian lokasi bakal ibukota baru, proyek jalan terpanjang Anyer - Panarukan tengah digarap. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr Herman Willem Deandels, adalah pemrakarsa proyek raksasa itu. Kabarnya, selama proyek itu berjalan, banyak nyawa kaum pribumi melayang. Mereka meninggal karena berbagai sebab. Yang paling dominan penyebabnya adalah karena kelelahan dan serangan penyakit. Kala itu, proyek berlangsung di bawah tekanan kaum penjajah. Rakyat yang dipekerjakanpun direkrut secara paksa.
Mereka diperintah, tanpa diberi imbalan memadai. Keselamatan dan kesehatan kerja jauh dari harapan. Akibatnya, banyak rakyat yang menderita sakit dan tewas. Selain itu, kekejaman pengawas proyek yang tiada lain adalah tentara kompeni, tak pernah kenal kompromi. Para pekerja yang terlihat malas, disiksa dan dianiaya. Entah berapa nyawa menjadi tumbal proyek prestisius milik Daendels itu. Yang pasti, para korban itu mati penasaran. Konon, arwah mereka masih gentayangan dibeberapa titik proyek yang tingkat kesulitannya tinggi. Seperti daerah yang melintasi gunung batu, semacam Cadas Pangeran di Sumedang.
Nah, rupanya, kisah kerja paksa proyek Jalan Anyer - Panarukan itu berkait pula dengan pendopo kota Bandung atau rumah dinasnya Walikota Bandung. Banyak cerita-cerita yang beredar di dalam masyarakat yang berhubungan dengan itu. Menurut cerita, arwah rakyat yang mati penasaran itu juga kerap mendatangi pendopo kota Bandung, baik ketika baru dibangun. Bahkan hingga saat ini, beberapa penjaga pendopo, seringkali menjumpai banyak orang berlalu lalang di sana.
Anehnya, kejadian itu berlangsung malam hari. Inilah yang terasa ganjil. Bayangkan saja. Banyak orang berlalu lalang di pendopo yang dijaga pamong praja, di tengah malam. Ini tentu membuat penasaran beberapa penjaga. Namun ketika diperhatikan dari dekat, mereka terkejut bukan main. Ternyata orang-orang yang berlalu lalang itu tidak menginjak tanah. Itu artinya mereka adalah serombongan mahluk halus. Menyaksikan itu, para penjaga pendopo hanya terbengong dan tak bisa bergerak dari tempatnya.
Pohon beringin
Peristiwa-peristiwa aneh yang menyertai penemuan lokasi bakal ibukota Bandung yang baru, menjadi cerita yang terus berkembang dari mulut ke mulut. Misalnya soal sinar terang yang jatuh dari langit dan terciptanya sumur Bandung oleh ujung tongkat Raden Wiranatakusumah II. Karena itulah saat pendopo dibangun, terasa sebagai suatu yang istimewa. Belum lagi soal sumur Bandung yang namanya melegenda. Kabarnya, sumur tersebut kini dihuni Dewi Kentringmanik, yang kerap disebut sebagai penghuni alam gaib kota Bandung. Sumur Bandung yang terletak di bawah Gedung PT PLN Distribusi Jabar, diberi hiasan penutup. Airnya kerap diambil orang-orang sebagai kenangan, dan juga sarana pengobatan, bagi yang meyakini.
Usai pembangunan pendopo rampung, sebatang pohon beringin ditanam pula di pekarangannya. Ketika itu, pohon beringin seakan menjadi ciri kota. Bisa diibaratkan, tidak sah sebuah kota tanpa kehadiran pohon beringin. Karena itulah, Bupati Wiranatakusumah II pun menanam pula pohon beringin di halaman pendopo, yang juga rumah dinas bupati kala itu. Selain itu, dua pohon beringin lain ditanam pula di alun-alun, tak jauh dari pendopo. Sebuah pohon beringin diberinama Juliana Boom, sebagai peringatan Ratu Belanda itu naik tahta.
Dalam perkembangannya, pohon yang ditanam langsung oleh bupati di halaman pendopo, seakan memiliki tuah. Sehingga tidak heran bila pohon itu kerap dijadikan ajang ngalap berkah. Orang-orang yang gemar memburu kesaktian, acap kali mencuri-curi kesempatan bisa bertapa di bawah pohon itu. Seseorang yang pernah bertapa di sana mengatakan bila di pohon beringin itu tertanam senjata pusaka berbentuk kujang. Warnanya kuning keemasan. Malah pertapa ini mendapat bisikan gaib yang bunyinya antara lain, “bila kota Bandung ingin aman, maka harus dipimpin oleh orang Sumedang”. Wallahualam.
Kabarnya, pohon beringin itu kini menjadi tempat bersemayamnya mahluk-mahluk halus. Seorang narasumber, kepada posmo mengatakan bila penghuni pohon beringin itu sereing terlihat mengenakan pakaian kebesaran kerajaan. Selain itu, tokoh gaib berpakaian raja ini sering muncul didampingi para pengawal. Para pengawal itu mengenakan pakaian ala prajurit kerajaan, tanpa penutup dada. Mereka setia mengikuti kemanapun tuannya pergi. “Mereka sering jalan-jalan di sekitar pendopo, lalu istirahat di sebelah barat,” tuturnya.
Narasumber posmo bertutur, kondisi lingkungan di sekitar pendopo yang kini semakin ramai, ternyata telah mengusik ketenangan mereka. Sehingga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka harus dilakukan sesuatu. Antara lain menjaga sekitar pendopo agar senantiasa terlihat lengang dan nyaman. Karena itulah jangan heran bila areal pendopo yang persis berada di tengah kota Bandung yang ramai, kini dibiarkan lengang dan terbuka. Sisi-sisi batas pendopo dibangun pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Wajar saja bila kemudian muncul kesan eksklusif terhadap bangunan ini. Bisa jadi, itu karena pertimbangan menjaga ketenangan areal pendopo. Seperti yang diinginkan para penghuni gaibnya.
Pada waktu yang hampir bersamaan dengan proses pencarian lokasi bakal ibukota baru, proyek jalan terpanjang Anyer - Panarukan tengah digarap. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr Herman Willem Deandels, adalah pemrakarsa proyek raksasa itu. Kabarnya, selama proyek itu berjalan, banyak nyawa kaum pribumi melayang. Mereka meninggal karena berbagai sebab. Yang paling dominan penyebabnya adalah karena kelelahan dan serangan penyakit. Kala itu, proyek berlangsung di bawah tekanan kaum penjajah. Rakyat yang dipekerjakanpun direkrut secara paksa.
Mereka diperintah, tanpa diberi imbalan memadai. Keselamatan dan kesehatan kerja jauh dari harapan. Akibatnya, banyak rakyat yang menderita sakit dan tewas. Selain itu, kekejaman pengawas proyek yang tiada lain adalah tentara kompeni, tak pernah kenal kompromi. Para pekerja yang terlihat malas, disiksa dan dianiaya. Entah berapa nyawa menjadi tumbal proyek prestisius milik Daendels itu. Yang pasti, para korban itu mati penasaran. Konon, arwah mereka masih gentayangan dibeberapa titik proyek yang tingkat kesulitannya tinggi. Seperti daerah yang melintasi gunung batu, semacam Cadas Pangeran di Sumedang.
Nah, rupanya, kisah kerja paksa proyek Jalan Anyer - Panarukan itu berkait pula dengan pendopo kota Bandung atau rumah dinasnya Walikota Bandung. Banyak cerita-cerita yang beredar di dalam masyarakat yang berhubungan dengan itu. Menurut cerita, arwah rakyat yang mati penasaran itu juga kerap mendatangi pendopo kota Bandung, baik ketika baru dibangun. Bahkan hingga saat ini, beberapa penjaga pendopo, seringkali menjumpai banyak orang berlalu lalang di sana.
Anehnya, kejadian itu berlangsung malam hari. Inilah yang terasa ganjil. Bayangkan saja. Banyak orang berlalu lalang di pendopo yang dijaga pamong praja, di tengah malam. Ini tentu membuat penasaran beberapa penjaga. Namun ketika diperhatikan dari dekat, mereka terkejut bukan main. Ternyata orang-orang yang berlalu lalang itu tidak menginjak tanah. Itu artinya mereka adalah serombongan mahluk halus. Menyaksikan itu, para penjaga pendopo hanya terbengong dan tak bisa bergerak dari tempatnya.
Pohon beringin
Peristiwa-peristiwa aneh yang menyertai penemuan lokasi bakal ibukota Bandung yang baru, menjadi cerita yang terus berkembang dari mulut ke mulut. Misalnya soal sinar terang yang jatuh dari langit dan terciptanya sumur Bandung oleh ujung tongkat Raden Wiranatakusumah II. Karena itulah saat pendopo dibangun, terasa sebagai suatu yang istimewa. Belum lagi soal sumur Bandung yang namanya melegenda. Kabarnya, sumur tersebut kini dihuni Dewi Kentringmanik, yang kerap disebut sebagai penghuni alam gaib kota Bandung. Sumur Bandung yang terletak di bawah Gedung PT PLN Distribusi Jabar, diberi hiasan penutup. Airnya kerap diambil orang-orang sebagai kenangan, dan juga sarana pengobatan, bagi yang meyakini.
Usai pembangunan pendopo rampung, sebatang pohon beringin ditanam pula di pekarangannya. Ketika itu, pohon beringin seakan menjadi ciri kota. Bisa diibaratkan, tidak sah sebuah kota tanpa kehadiran pohon beringin. Karena itulah, Bupati Wiranatakusumah II pun menanam pula pohon beringin di halaman pendopo, yang juga rumah dinas bupati kala itu. Selain itu, dua pohon beringin lain ditanam pula di alun-alun, tak jauh dari pendopo. Sebuah pohon beringin diberinama Juliana Boom, sebagai peringatan Ratu Belanda itu naik tahta.
Dalam perkembangannya, pohon yang ditanam langsung oleh bupati di halaman pendopo, seakan memiliki tuah. Sehingga tidak heran bila pohon itu kerap dijadikan ajang ngalap berkah. Orang-orang yang gemar memburu kesaktian, acap kali mencuri-curi kesempatan bisa bertapa di bawah pohon itu. Seseorang yang pernah bertapa di sana mengatakan bila di pohon beringin itu tertanam senjata pusaka berbentuk kujang. Warnanya kuning keemasan. Malah pertapa ini mendapat bisikan gaib yang bunyinya antara lain, “bila kota Bandung ingin aman, maka harus dipimpin oleh orang Sumedang”. Wallahualam.
Kabarnya, pohon beringin itu kini menjadi tempat bersemayamnya mahluk-mahluk halus. Seorang narasumber, kepada posmo mengatakan bila penghuni pohon beringin itu sereing terlihat mengenakan pakaian kebesaran kerajaan. Selain itu, tokoh gaib berpakaian raja ini sering muncul didampingi para pengawal. Para pengawal itu mengenakan pakaian ala prajurit kerajaan, tanpa penutup dada. Mereka setia mengikuti kemanapun tuannya pergi. “Mereka sering jalan-jalan di sekitar pendopo, lalu istirahat di sebelah barat,” tuturnya.
Narasumber posmo bertutur, kondisi lingkungan di sekitar pendopo yang kini semakin ramai, ternyata telah mengusik ketenangan mereka. Sehingga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka harus dilakukan sesuatu. Antara lain menjaga sekitar pendopo agar senantiasa terlihat lengang dan nyaman. Karena itulah jangan heran bila areal pendopo yang persis berada di tengah kota Bandung yang ramai, kini dibiarkan lengang dan terbuka. Sisi-sisi batas pendopo dibangun pagar tembok yang tinggi dan kokoh. Wajar saja bila kemudian muncul kesan eksklusif terhadap bangunan ini. Bisa jadi, itu karena pertimbangan menjaga ketenangan areal pendopo. Seperti yang diinginkan para penghuni gaibnya.
Pendapa kota Bandung adalah bangunan eksklusif
di tengah hiruk pikuk pusat kota. Eksklusif karena suasananya lengang, dan
terkesan tertutup layaknya bangunan tak bertuan. Sehari-harinya, yang terlihat
hanya para penjaga yang nongkrong di gardu dekat gerbang masuk. Konon,
ketertutupan itu berkait dengan banyaknya kejadian-kejadian aneh di dalamnya.
Pendapa kota Bandung memang penuh dengan misteri.
Jejak sejarah pendapa kota Bandung di mulai awal abad 17 masehi. Ketika itu, kawasan Bandung yang kerap disebut Ukur, masih menjadi bagian kekuasaan kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan ini memiliki luas meliputi Karawang, Pamanukan, Ciasem, Sumedang, Sukapura, Limbangan dan Kabupaten Bandung. Seperti diceritakan Babad Bandung, ibukota Ukur atau Bandung ini letaknya di Krapyak. Yakni kota yang dibangun oleh Wira Angun-Angun dengan mengerahkan rakyat Ukur yang dibantu penduduk dari Timanganten. Belakangan, nama Krapyak kemudian diubah mejadi Citeureup.
Setelah Tumengung Wira Angun-angun wafat, naiklah putranya yang bergelar Dalem Tumenggung Nyili sebagai ganti. Tak lama kemudian ia pun disuksesi oleh menantu Wira Angun-Angun yang bernama Raden Demang Ardisuta yang bergelar Raden Demang Anggadireja. Setelah wafat, ia diberi gelar Dalem Gordah, karena ia dimakamkan di kampong Gordah. Sejak itulah suksesi kepemimpinan Kabupaten Bandung tak jauh anak dan keturunan-keturunannya.
Ibukota dipindah
Tahun 1799, kekuasaan kompeni beralih ketangan Pemerintah Belanda. Kemudian diangkatlah Raden Indrareja, yang bergelar Adipati Wiranatakusumah II, sebagai Bupati Bandung. Ia memerintah hingga tahun 1829 dan berkedudukan di Citeureup. Nah, pada tanggal 25 Bloeimaad (Mei) 1811, sejarah besar terjadi. Atas perintah Gubernur Jenderal Mr Herman Willem Deandels, sang Bupati mendapat tugas untuk memindahkan ibukota kabupaten Bandung dari Krapyak atau Citeureup. Sementara tempat barunya menjadi tugas Adipati Wiranatakusumah II untuk mencarinya.
Setelah melalui perjalanan panjang menelusuri Sungai Cikapundung, akhirnya sang Adipati menemukan tempat itu berdasarkan pepatah Sunda. Yakni, “garuda ngupluk tanah hade, bahe ngaler-ngetan, deukeut pangguyangan badak putih” (letak lahannya seperti garuda mengepakkan sayapnya, tanahnya subur, landai kea rah timur laut dan berdekatan dengan sumber air). Tempat yang ditemukan itulah kini menjadi lokasi pendapa kota Bandung, sekaligus pusat pemerintahan Kabupaten Bandung yang baru. Dan letaknya memang tak jauh dari sumber mata air Sungai Cikapundung dan dua buah sumber mata air bernama Sumur Bandung.
Menurut pini sepuh Bandung, Bupati RAA Wiranatakusumah II yang bernama asli Raden Indrareja dan kerap disebut Dalem Kaum, adalah tokoh yang memiliki banyak kelebihan dibanding bupati Bandung lainnya. Selain dikenal sakti, Bupati Wiranatakusumah juga memiliki ilmu-ilmu yang tak dipunya kebanyakan orang. Semisal keberhasilannya menemukan lokasi bakal ibukota baru, konon tak lepas dari ketajaman mata batin dan kesaktiannya. Kala itu, iteuk (tongkat) sang bupati menjadi penentu letak ibukota baru.
Saat Bupati Wiranatakusumah II menancapkan tongkatnya di tanah, ia lalu menunjuk sebuah tempat tak jauh dari tempatnya berdiri sebagai bakal lokasi baru. Keajaiban pun terjadi. Ketika sang Bupati mencabut kembali tongkatnya, bekas tanah yang tertancap tongkat itu tiba-tiba mengeluarkan air. Air itulah yang kemudian dipergunakan untuk keperluan selama berkemah. Bahkan pada malam harinya, tepat di sekitar lokasi tenda-tenda itu terlihat sinar terang yang jatuh dari langit. Sang bupati mendapat firasat dan merasakan tempat itu sebagai lokasi yang pas menjadi ibukota Kabupaten Bandung yang baru.
Sejak saat itu dia mengumumkan bila lokasi disisi Sungai Cikapundung itu sebagai ibukota Kabupaten Bandung yang baru. Lokasi tenda-tenda perkemahan rombongan dijadikan pendopo. Sementara sumber mata air dari tancapan tongkatnya menjadi sebuah sumur yang airnya tak pernah kering. Sang Bupati kemudian wafat tahun 1829, dan dimakamkan di belakang masjid Kaum Bandung, sekarang mesjid Agung Bandung atau Masjid Raya Jawa Barat. Setelah wafat, rakyat kerap menyebutnya Dalem Kaum.
Penuh misteri
Lama kelamaan, lokasi baru itu menjadi pusat kota yang ramai. Bangunan pendapa yang semula menjadi tempat tinggal para bupati Bandung, mulai disekat-sekat menjadi ruangan kantor. Konon, sejak itulah peristiwa-peristiwa aneh mulai terjadi. Banyak yang mengatakan bila penghuni gaib pendapa mulai gelisah. Antara lain dengan ramainya lingkungan pendapa dari hiruk pikuk kesibukan manusia. Maklum sejak diubah fungsinya menjadi kantor pemerintahan, sehari-harinya kawasan itu menjadi ramai.
Menurut cerita-cerita yang berkembang, hal itu berefek negative. Misalnya membuat suasana lingkungan kerja menjadi tak nyaman. Banyak pegawai pemerintah yang resah. Keributan dan pekelahian sesama pegawai pun kerap terjadi. Bahkan banyak keluarga para pegawai itu yang mengalami perceraian. Kisah-kisah seram seputar pendapa Bandung pun beredar dari mulut kemulut hingga ibukota Kabupaten Bandung dipindah ke soreang, dan pendapa menjadi rumah dinas Walikota Bandung.
Contohnya soal senjata pusaka yang tertanam di bawah pohon beringin yang berada di depan pendapa. Jenisnya semacam tombak. Hanya saja ukurannya tak lebih dari 40 Cm. Ujung tombak berwarna kuning dan gagangnya berwarna coklat. Bandi Sobandi (54) pimpinan Pengelola Urusan Rumah Dinas Pemkot Bandung, yang juga membawahi Pendapa Bandung, mengakui hal-hal aneh yang kerap terjadi di sekitar pendapa. Misalnya soal lonceng yang berada di depan pendapa dekat pohon beringin yang kerap berbunyi sendiri.
Menurutnya, lonceng itu tak boleh sembarangan dipukul. Sebab bila itu dilakukan, alamat pelakunya bisa celaka. “Jangan coba-cobalah, kalau tak ingin terjadi sesuatu,” tandasnya. Lonceng itu sendiri hingga kini masih terpajang di sana. Selain itu, katanya, ada satu keanehan pendapa kota Bandung. Bila tengah berada di lingkungan pendapa, tatkala suara azan berkumandang, maka hentikanlah segala aktivitas yang tengah dikerjakan. Sebab bila tidak menghentikan pekerjaannya, selalu ada saja yang celaka.
Hal ini pernah dialami seorang pensiunan yang tengah bekerja memasang kayu dan genteng di pendapa. Ia sudah diperingatkan untuk berhenti kerja ketika mendengar suara azan salat jumat dari masjid agung yang hanya terletak 100 meter dari pendapa. Namun karena tanggung, ia tak mengubris. Akibatnya, ia terjatuh dari atap pendapa. Tulang pahanya patah dan harus dirawat beberapa waktu di RS. Pada saat yang sama, seorang yang tengah mengecat tiang pendapat sebelah barat, tiba-tiba juga terjatuh.
Wanita cantik
Misteri kejadian aneh pendapa kota Bandung hingga kini terus berlangsung. Bang Uta, seseorang yang pernah mengamati sisi mistis pendapa kota Bandung, menceritakan soal pohon beringin yang tumbuh di depan pendapa. Katanya, pohon beringin itu ada penghuninya. Ia adalah seorang wanita tua, yang kerap muncul sengaja tiba-tiba. Beberapa orang pernah melihat wanita tua itu tengah berada di sekitar pohon beringin. Tapi, kata Bang Uta, tidak sembarang orang bisa melihatnya.
Kisah ini pun merebak di kalangan orang-orang yang pernah mengalami. Banyak yang bilang, bila tidur di bagian selatan pendapa, pasti akan mendapat mimpi bertemu dengan seorang wanita muda yang cantik jelita. Selanjutnya, apa yang kerap terjadi antara sepasang suami dan istri, berlaku dengan wanita muda itu. Sehingga tidak heran bila banyak kaum pria penasaran. Mereka ingin mencoba tidur di kamar bagian selatan pendapa dengan harapan bias bertemu dan berkencan dengan wanita cantik dalam tidurnya
Jejak sejarah pendapa kota Bandung di mulai awal abad 17 masehi. Ketika itu, kawasan Bandung yang kerap disebut Ukur, masih menjadi bagian kekuasaan kerajaan Sumedang Larang. Kerajaan ini memiliki luas meliputi Karawang, Pamanukan, Ciasem, Sumedang, Sukapura, Limbangan dan Kabupaten Bandung. Seperti diceritakan Babad Bandung, ibukota Ukur atau Bandung ini letaknya di Krapyak. Yakni kota yang dibangun oleh Wira Angun-Angun dengan mengerahkan rakyat Ukur yang dibantu penduduk dari Timanganten. Belakangan, nama Krapyak kemudian diubah mejadi Citeureup.
Setelah Tumengung Wira Angun-angun wafat, naiklah putranya yang bergelar Dalem Tumenggung Nyili sebagai ganti. Tak lama kemudian ia pun disuksesi oleh menantu Wira Angun-Angun yang bernama Raden Demang Ardisuta yang bergelar Raden Demang Anggadireja. Setelah wafat, ia diberi gelar Dalem Gordah, karena ia dimakamkan di kampong Gordah. Sejak itulah suksesi kepemimpinan Kabupaten Bandung tak jauh anak dan keturunan-keturunannya.
Ibukota dipindah
Tahun 1799, kekuasaan kompeni beralih ketangan Pemerintah Belanda. Kemudian diangkatlah Raden Indrareja, yang bergelar Adipati Wiranatakusumah II, sebagai Bupati Bandung. Ia memerintah hingga tahun 1829 dan berkedudukan di Citeureup. Nah, pada tanggal 25 Bloeimaad (Mei) 1811, sejarah besar terjadi. Atas perintah Gubernur Jenderal Mr Herman Willem Deandels, sang Bupati mendapat tugas untuk memindahkan ibukota kabupaten Bandung dari Krapyak atau Citeureup. Sementara tempat barunya menjadi tugas Adipati Wiranatakusumah II untuk mencarinya.
Setelah melalui perjalanan panjang menelusuri Sungai Cikapundung, akhirnya sang Adipati menemukan tempat itu berdasarkan pepatah Sunda. Yakni, “garuda ngupluk tanah hade, bahe ngaler-ngetan, deukeut pangguyangan badak putih” (letak lahannya seperti garuda mengepakkan sayapnya, tanahnya subur, landai kea rah timur laut dan berdekatan dengan sumber air). Tempat yang ditemukan itulah kini menjadi lokasi pendapa kota Bandung, sekaligus pusat pemerintahan Kabupaten Bandung yang baru. Dan letaknya memang tak jauh dari sumber mata air Sungai Cikapundung dan dua buah sumber mata air bernama Sumur Bandung.
Menurut pini sepuh Bandung, Bupati RAA Wiranatakusumah II yang bernama asli Raden Indrareja dan kerap disebut Dalem Kaum, adalah tokoh yang memiliki banyak kelebihan dibanding bupati Bandung lainnya. Selain dikenal sakti, Bupati Wiranatakusumah juga memiliki ilmu-ilmu yang tak dipunya kebanyakan orang. Semisal keberhasilannya menemukan lokasi bakal ibukota baru, konon tak lepas dari ketajaman mata batin dan kesaktiannya. Kala itu, iteuk (tongkat) sang bupati menjadi penentu letak ibukota baru.
Saat Bupati Wiranatakusumah II menancapkan tongkatnya di tanah, ia lalu menunjuk sebuah tempat tak jauh dari tempatnya berdiri sebagai bakal lokasi baru. Keajaiban pun terjadi. Ketika sang Bupati mencabut kembali tongkatnya, bekas tanah yang tertancap tongkat itu tiba-tiba mengeluarkan air. Air itulah yang kemudian dipergunakan untuk keperluan selama berkemah. Bahkan pada malam harinya, tepat di sekitar lokasi tenda-tenda itu terlihat sinar terang yang jatuh dari langit. Sang bupati mendapat firasat dan merasakan tempat itu sebagai lokasi yang pas menjadi ibukota Kabupaten Bandung yang baru.
Sejak saat itu dia mengumumkan bila lokasi disisi Sungai Cikapundung itu sebagai ibukota Kabupaten Bandung yang baru. Lokasi tenda-tenda perkemahan rombongan dijadikan pendopo. Sementara sumber mata air dari tancapan tongkatnya menjadi sebuah sumur yang airnya tak pernah kering. Sang Bupati kemudian wafat tahun 1829, dan dimakamkan di belakang masjid Kaum Bandung, sekarang mesjid Agung Bandung atau Masjid Raya Jawa Barat. Setelah wafat, rakyat kerap menyebutnya Dalem Kaum.
Penuh misteri
Lama kelamaan, lokasi baru itu menjadi pusat kota yang ramai. Bangunan pendapa yang semula menjadi tempat tinggal para bupati Bandung, mulai disekat-sekat menjadi ruangan kantor. Konon, sejak itulah peristiwa-peristiwa aneh mulai terjadi. Banyak yang mengatakan bila penghuni gaib pendapa mulai gelisah. Antara lain dengan ramainya lingkungan pendapa dari hiruk pikuk kesibukan manusia. Maklum sejak diubah fungsinya menjadi kantor pemerintahan, sehari-harinya kawasan itu menjadi ramai.
Menurut cerita-cerita yang berkembang, hal itu berefek negative. Misalnya membuat suasana lingkungan kerja menjadi tak nyaman. Banyak pegawai pemerintah yang resah. Keributan dan pekelahian sesama pegawai pun kerap terjadi. Bahkan banyak keluarga para pegawai itu yang mengalami perceraian. Kisah-kisah seram seputar pendapa Bandung pun beredar dari mulut kemulut hingga ibukota Kabupaten Bandung dipindah ke soreang, dan pendapa menjadi rumah dinas Walikota Bandung.
Contohnya soal senjata pusaka yang tertanam di bawah pohon beringin yang berada di depan pendapa. Jenisnya semacam tombak. Hanya saja ukurannya tak lebih dari 40 Cm. Ujung tombak berwarna kuning dan gagangnya berwarna coklat. Bandi Sobandi (54) pimpinan Pengelola Urusan Rumah Dinas Pemkot Bandung, yang juga membawahi Pendapa Bandung, mengakui hal-hal aneh yang kerap terjadi di sekitar pendapa. Misalnya soal lonceng yang berada di depan pendapa dekat pohon beringin yang kerap berbunyi sendiri.
Menurutnya, lonceng itu tak boleh sembarangan dipukul. Sebab bila itu dilakukan, alamat pelakunya bisa celaka. “Jangan coba-cobalah, kalau tak ingin terjadi sesuatu,” tandasnya. Lonceng itu sendiri hingga kini masih terpajang di sana. Selain itu, katanya, ada satu keanehan pendapa kota Bandung. Bila tengah berada di lingkungan pendapa, tatkala suara azan berkumandang, maka hentikanlah segala aktivitas yang tengah dikerjakan. Sebab bila tidak menghentikan pekerjaannya, selalu ada saja yang celaka.
Hal ini pernah dialami seorang pensiunan yang tengah bekerja memasang kayu dan genteng di pendapa. Ia sudah diperingatkan untuk berhenti kerja ketika mendengar suara azan salat jumat dari masjid agung yang hanya terletak 100 meter dari pendapa. Namun karena tanggung, ia tak mengubris. Akibatnya, ia terjatuh dari atap pendapa. Tulang pahanya patah dan harus dirawat beberapa waktu di RS. Pada saat yang sama, seorang yang tengah mengecat tiang pendapat sebelah barat, tiba-tiba juga terjatuh.
Wanita cantik
Misteri kejadian aneh pendapa kota Bandung hingga kini terus berlangsung. Bang Uta, seseorang yang pernah mengamati sisi mistis pendapa kota Bandung, menceritakan soal pohon beringin yang tumbuh di depan pendapa. Katanya, pohon beringin itu ada penghuninya. Ia adalah seorang wanita tua, yang kerap muncul sengaja tiba-tiba. Beberapa orang pernah melihat wanita tua itu tengah berada di sekitar pohon beringin. Tapi, kata Bang Uta, tidak sembarang orang bisa melihatnya.
Kisah ini pun merebak di kalangan orang-orang yang pernah mengalami. Banyak yang bilang, bila tidur di bagian selatan pendapa, pasti akan mendapat mimpi bertemu dengan seorang wanita muda yang cantik jelita. Selanjutnya, apa yang kerap terjadi antara sepasang suami dan istri, berlaku dengan wanita muda itu. Sehingga tidak heran bila banyak kaum pria penasaran. Mereka ingin mencoba tidur di kamar bagian selatan pendapa dengan harapan bias bertemu dan berkencan dengan wanita cantik dalam tidurnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar